Polemik Minyak Goreng: Segera Evaluasi Menyeluruh Industri Sawit dari Hulu hingga Hilir
JAKARTA, Update – Persoalan langkanya minyak goreng dalam sebulan ini masih bergulir. Pada akhir tahun 2021 lalu telah terjadi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di Indonesia. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, namun sayangnya tidak berdaulat dalam mencukupi kebutuhan domestik CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Beberapa pihak menilai negara dinilai gagal dalam melakukan pengawasan (operasi pasar) dalam memastikan kestabilan harga dan ketersediaannya.
Salah satu isu krusial yang mengemuka sebagai penyebab polemik minyak goreng ini adalah adanya dugaan penguasaan sumber daya yang masih terkonsentrasi pada segelintir pemain besar. Berdasarkan data Concentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar yang menguasai usaha perkebunan, pengolahan CPO dan beberapa produk turunan salah satunya minyak goreng. Empat produsen tersebut diantaranya Wilmar International Ltd, Indofood Agri Resources Ltd, Grup Musim Mas, dan Royal Golden Eagle International (RGEI). Struktur pasar seperti itu, membuat industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoly yang berdampak terhadap konsumen sebagai end-user yang merasa dirugikan.
Selain itu pelaksanaan kebijakan program biodiesel berdampak pada pergeseran besar dalam konsumsi CPO dalam negeri. Sebelumnya konsumsi dalam negeri didominasi oleh industri pangan, namun sekarang menjadi industri biodiesel. Konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 jadi 7,23 juta ton tahun 2020. Di sisi lain, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020. Pengusaha kini lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaannya tidak bakal merugi. Pasalnya ada kucuran subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga Internasional. Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng, pengusaha tak mendapatkan insentif seperti itu.
Situasi ini menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan kedaulatan pangan sebagian bagian dari hak asasi manusia. Kelangkaan minyak goreng dan lonjakan harga menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia menjalankan politik pangan yang demokratik, berdasarkan keadilan sosial, dan kepedulian terhadap ekologi. Selain itu, situasi tersebut merupakan kegagalan pemerintah merealisasikan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, khususnya dalam menerjemahkan kedaulatan pangan sebagai politik hukum dan hak asasi manusia sebagai bagian dari manifestasi kewajiban konstitusionalitas negara. Kedaulatan pangan merupakan hak warga negara atas pangan yang dibangun berdasarkan pilar kesetaraan, keberlanjutan, dan demokrasi seperti telah dimandatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Bahkan Pemerintah Indonesia semestinya tidak tunduk pada tuntutan pasar dan perusahaan, termasuk memberikan fasilitasi insentif bagi korporasi.
Selama periode November 2021 hingga Maret 2022, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi persoalan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Seperti diantaranya dengan 1) melakukan penyaluran minyak goreng kemasan dan curah kepada masyarakat melalui operasi pasar, 2) menetapkan harga minyak goreng eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan di tingkat konsumen (dengan alokasi pembiayaan selisih harga menggunakan mekanisme pembiayaan BPDPKS) dan 3) kebijakan pemenuhan kebutuhan domestic melalui Domestic Market Obligation/DMO dan Domestic Price Obligation/DPO.
Kelangkaan minyak goreng harus dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari ekskalasi panjang konflik sumber daya alam di Indonesia. Catatan tools pendokumentasian konflik https://humawin.huma.or.id/ menyatakan konflik perkebunan, terutama kebun sawit, masih menempati jumlah tertinggi dengan 161 konflik, dengan jumlah area terdampak seluas 645.484 hektar, serta melibatkan korban masyarakat terdampak sejumlah 49.858 jiwa. Selain itu, hasil dari perkebunan sawit yang merupakan bahan dasar pembuatan minyak goreng dikuasai segelintir orang.
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Mengingat pentingnya minyak goreng untuk menunjang kebutuhan harian, kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng telah menyengsarakan dan berdampak pada hak-hak masyarakat, diantaranya hak ekonomi, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman. Dalam konteks itu, segala bentuk praktik penimbunan dan kartel adalah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Lebih jauh lagi praktik kartel tersebut menunjukkan kegagalan korporasi yang telah dilekati tanggung jawab untuk menghormati HAM, termasuk mempertimbangkan secara efektif masalah gender, kerentanan dan/atau marginalisasi. Sementara, perempuan masih dibebani peran sebagai produsen pangan, ibu, dan penjaga pangan bagi keluarga, khususnya gizi anak sehingga kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga minyak goreng memperparah kesenjangan relasi gender antara perempuan dan laki-laki.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektar (ha) perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Potensi hilangnya penerimaan negara dari pajak kebun sawit tersebut tentunya tak sebanding dengan dampak sosial dan lingkungan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Masyarakat adat dan warga yang tinggal di sekitar hutan kehilangan sumber pendapatan, menjadi korban bencana asap akibat kebakaran lahan, serta berisiko menghadapi amukan satwa liar akibat meningkatnya konflik manusia dan satwa liar. Dengan demikian evaluasi menyeluruh Industri Sawit dari Hulu hingga Hilir merupakan kewajiban Negara.
Dalam hal ini negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi HAM dari segala bentuk tindakan bisnis yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM. Dalam konteks minyak goreng negara haruslah mengambil langkah untuk mengontrol harga pasar dan menjamin ketersediaan. Sementara korporasi bertanggung jawab dengan tidak berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran dengan menimbun dan menentukan harga melalui kartel. Pemerintah perlu menyediakan mekanisme pengaduan dan pemulihan yang cepat dan memadai jika terdapat dugaan pelanggaran HAM terkait minyak goreng.
Konsumen menjadi pihak paling dirugikan dari kejadian ini. Untuk itu perlindungan konsumen menjadi hal yang patut menjadi perhatian. Pada prinsipnya perlindungan konsumen telah termuat dalam UU Perlindungan Konsumen sebagai sumber utama perlindungan konsumen serta terdapat beberapa lainnya yang turut memberikan perlindungan konsumen seperti misalnya UU Pangan dan UU Perdagangan.
Berdasarkan uraian di atas, bersama dengan ini kami koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal di antaranya :
- Presiden Joko Widodo segera melakukan evaluasi secara menyeluruh industri sawit dari hulu hingga hilir secara transparan. Hal ini berguna untuk melihat apakah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng terjadi akibat ketidakefisienan atau akibat mekanisme tidak wajar dalam rantai produksi dan perdagangan CPO dan minyak goreng;
- Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mengambil langkah cepat dan taktis untuk selalu mengontrol pasar minyak goreng;
- Komnas HAM perlu menyiapkan mekanisme pengaduan dari lapangan terkait pelanggaran HAM terkait dengan minyak goreng;
- Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) segera mendalami adanya kemungkinan kartel yang terjadi dalam rantai produksi dan perdangan CPO dan minyak goreng;
Kepolisian Republik Indonesia menindak tegas para pelaku penimbunan minyak goreng dan kasus kelangkaan minyak goreng yang ditemukan di lapangan. /ars