Bertanggung Jawab Atas Perkembangan Diri Kita Sendiri
Oleh: Dr. Wahyu Lay, Dosen Filsafat, Penulis Ahli EmitenUpdate.com
Dalam kaitan itu Aristoteles menegaskan sesuatu yang sampai hari ini masih kontroversial, yaitu tanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi bahkan juga atas perkembangan kita menjadi manusia utuh.
Apakah kita menjadi orang berkeutamaan ataukah orng lemah yang hanya dikemudikan oleh emosi, perasaan, keinginan untuk enak saja, nafsu, kemalasan, oleh dendam, dan dorongan irasional lain dalam hatinya tergantung dari kita sendiri.
Ia menegaskan bahwa sikap etis berkaitan dengan kehendak. Misalnya keadilan : Orang belum boleh disebut jujur kalau hanya tindakan lahiriahnya saja sesuai dengan tuntutan kejujuran. Ia baru merupakan manusia jujur apabila ia memang mau bertindak dengan jujur. “Maka dengan tepat dikatakan bahwa orang menjadi jujur karena ia bertindak dengan jujur dan menjadi tahu diri karena bertindak dengan tahu diri”.
Untuk bertindak secara etis dengan semakin mudah, Aristoteles menasehatkan agar kita bertindak melawan kecenderungan alami kita. Hal itu juga karena, menurut Aristoteles, banyak keutamaan merupakan tengah di antara sikap yang kurang dan yang berlebihan. Begitu misalnya keberanian : Keberanian adalah tengah antara kesembronoan dan ketakutan.
Sikap selalu pikir dulu adalah tengah antara memberi dan menerima, budi luhur adalah tengah antara ingin terhormat dan takut dipermalukan. Dan seterusnya. Tentu ada juga keutamaan yang tidak dapat di mengerti sebagai tengah.
Itulah keutamaan yang menolak segala perbuatan yang pada dirinya sendiri jahat atau palsu. Di antara perbuatan yang buruk pada dirinya sendiri Aristoteles menyebutkan kesenangan atas kerugian orang lain, sikap tidak tahu malu, iri hati, perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan seperti itu jelek pada dirinya sendiri dan orang utama tidak akan melakukannya. Kita dapat mengatakan bahwa orang yang bermutu secara moral tak pernah akan melakukan sesuatu yang jelek pada dirinya sendiri.
Akan tetapi, kebayakan keutamaan kita pelajari dengan mengusahkan sikap tengah antara yang berlebihan dan yang kurang, dan itu sesuatu yang tidak terlalu sulit. Dengan mencapai keseimbangan antara yang berlebihan dan yang kurang kita lama kelamaan menjadi orang yang matang dan mantap dalam sikap yang dapat diandalkan. Aristoteles membahas secara khusus beberapa keutamaan yang dalam budaya tradisional di Indonesia juga dinilai tinggi, tetapi sekarang sering dilupakan.
Diantaranya terdapat keberanian, sikap hati besar(megalopsychia, tengah antara gumagus dan kecil hati ), kebijaksanaan dalam mengambil keputusan (sophrosyne), sikap tahu diri atau tidak berlebihan, sikap membawa diri dengan kebesaran tepat (magaloprepeia, tengah antara tak punya rasa dan kikir ) yang dijelaskan sebagai “pemakain sarana kebesaran sesuai situasi”, penguasaan diri yang tak mudah marah, dan keadilan. Kita tidak perlu membicarakan keutamaan itu satu per satu.
Keutamaan itu jelas merupakan tanda pribadi yang mantap, bersikap lurus, kuat, dan tidak mudah diselewengkan: tanda orang yang dapat kita percayai, dan sesuai dengan cita- cita kita tentang bagaimana kita seharusnya. Keutamaan itu dapat dan harus kita pelajari. Aristoteles memperlihatkan bahwa sosok moral kita, apakah menjadi orang yang kuat secara moral, atau orang yang lemah, bukan nasib atau bakat alami, melainkan tergantung dari usaha kita sendiri juga.
Khususnya keutamaan yang merupakan tengah dapat dipelajari dengan menghindar dari dua ekstrem. Dengan demikian, kita lama-kelamaan menjadi biasa dan kuat untuk bertindak “di tengah”. Kalau kita orang yang mudah takut, kita harus bertindak lebih berani dan tidak cepat khawatir bahwa tindakan kita bisa sembrono. Sebaliknya, orang yang cenderung bertindak sembrono harus belajar mempertimbangkan bahaya, berfikir dulu, dan berhati-hati; maka lama-kelamaan ia akan menjadi orang yang tetap berani dimana itu perlu, tetapi tidak lagi bertindak sembrono.
Dalam kaitan ini Aristoteles menyebutkan tiga sikap yang harus dihindari: Kejahatan, ketidakmampuan untuk menguasai diri, dan kekerasan. Orang yang jahat memang tidak mau menjadi orang berkeutamaan dan karena itu gagal merealisasikan dirinya sendiri. Ia tidak mungkin bahagia.
Orang yang tidak menguasai diri, tahu bagaimana ia seharusnya hidup dan bertindak, tetapi ia tidak kuat melawan nafsu dan emosinya. Ia pada hakekatnya orang yang lemah dan gagal mengembangkan diri karena tidak mempunyai kekuatan kepribadian untuk tegas mengikuti cara hidup yang benar. Orang yang tidak mampu menguasai diri pun tidak dapat menjadi bahagia.
Sedangkan orang kasar tidak mampu untuk merasakan segi-segi halus kehidupannya, maka ia akan merosot sampai ia semakin hidup seperti binatang, kasar dikuasai oleh nafsu dan emosi sesaat. Dari Aristoteles kita juga dapat belajar bahwa kita harus mengetahui diri kita sendiri. Dengan mengetahui diri kita sendiri, kita lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan kita.
Justru kelemahan itu yang perlu kita hadapi dan bertindak berlawanan. Kalau kita cenderung kikir, kita harus berani bermurah hati kalaupun ada bahaya kita tertipu.
Kalau kita tidak bisa melawan nafsu makan, maka akan sangat berguna untuk berpuasa secara bijaksana, maka kita akan belajar untuk makan secukupnya, dan untuk merasa gembira dengannya. ***