Ssuuut, Jangan “Sekali Pakai” Parah Akibatnya
Oleh: Dr. Wahyu Lay, Jonggol, Bogor
BUDAYA “sekali pakai”itu ternyata tidak hanya besar manfaatnya, tetapi juga parah akibatnya. Sebab seiring dengan gaya hidup dan kebudayaan “sekali pakai” itu, manusia modern juga hidup di dalam kebudayaan “lalu buang:. Masyarakat-masyarakat maju adalah masyarakat yang banyak membuang dan gampang membuang.
Di hari-hari tertentu, cobalah Anda berjalan di jalan-jalan di Amerika Serikat. Anda pasti akan dibuat heran adan kaget, betapa gampang mereka membuang barang. Mulai dari karpet, meja, kursi, kompor gas, radio, televisi sampai mobil sering di buang begitu saja.
Mahasiswa-mahasiswa asing yang berduit biasanya yang paling memanfaatkan barang-barang buangan ini. Anda segera dapat memahami apa akibatnya. Yaitu sampah menjadi bertumpuk. Disemua kota besar di dunia, sampah merupakan persoalan besar yang amat sulit dipecahkan. Orang modern bisa saja mendarat di bulan atau menyelam ke dasar laut yang paling dalam, tapi tetap tak mampu mengatasi masalah sampah. Sampah atau barang-barang buangan ini menciptakan polusi.
Kebudayaan “sekali pakai” ternyata telah banyak mencemari laut, merusak darat, mengotori udara, dan membunuh banyak makhluk hidup. Mengenai alat suntik “sekali pakai” itu. Saya pernah membaca di sebuah surat kabar, betapa daerah pantai sepanjang 75 km antara New Jersey dan New York telah di cemari oleh buangan alat-alat suntik, barang-barang buangan rumah sakit, termasuk darah.
Nah, penularan penyakit dapat di cegah di satu pintu, kini jebol melalui pintu lain. TOH ada yang lebih mengerikan lagi dari budaya hidup “sekali pakai, lalu buang” itu. Alvin Tuffler dalam bukunya yang amat terkenal, Future Shock atau Kejutan Masa Depan, menulis antara lain bahwa kita sekarang atau akan semakin hidup di dalam masyarakat yang “sekali pakai, lalu buang” dengan orang-orang yang juga “sekali pakai lalu buang”. A disposable society with disposable people.
Manusia semakin tidak dihargai sama seperti popok, sekali pakai ia dianggap tidak ada gunanya. Dan segera setelah tak berguna, ia dibuang seperti sampah. Apakah bukan itu yang sedang kita alami dan saksikan sekarang ini? Mayat dipotong-potong, lalu dibuang. Gadis diperkosa, lalu dibuang. Bayi dilahirkan lalu dibuang dijalan-jalan raya, siapa pun yang dianggap menghalangi laju kendaraan truk atau bus, tabrak saja lalu dibuang.
Tak selalu dalam sosok yang mengerikan dan bersimbah darah, tapi hubungan antar manusia juga telah kian ketularan penyakit budaya “sekali pakai, lalu buang”. Sebab itu, hubungan antar manusia menjadi amat rapuhnya. Di Amerika Serikat, separoh dari perkawinan berakhir dengan perceraian. Lebih dari setengah anak-anak di Amerika Serikat di asuh oleh orang tua single. Sulit memelihara hubungan jangka panjang.
Rata-rata orang Amerika pindah rumah setiap lima tahun. Di Los Angeles, lebih dari 50 persen anak-anak usia sekolah berganti sekolah setahun sekali. Hampir dalam segala sektor kehidupan, orang berprinsip “sekali pakai, lalu buang”. Tak ada lagi yang kita anggap begitu berharga untuk kita pelihara dan kita rawat untuk jangka panjang. Termasuk diri sendiri. Betapa sering kita menganut gaya hidup yang sembarangan yang merusak diri sendiri. Bernikmat-nikmat tanpa batas. Bekerja terlalu keras. Karir dan sukses material membuat kita melupakan kesehatan kita. Seolah-olah hidup kita pun telah menjadi “sekali pakai, lalu buang”.
Sebab itu, kata yang paling bertuah sekarang ini adalah “mumpung”. Mumpung dapat di pakai, manfaatkan. Setelah itu, buang. Apakah bukan itu pula salah satu sumber penderitaaan manusia modern itu? Amat sibuk, tapi merasa tak mencapai apa-apa. Menghasilkan begitu banyak, tapi tanpa makna. Berhubungan dengan banyak orang, tapi kesepian. Telah mencapai amat banyak, tapi toh selalu kurang.
Itulah ketika tidak ada lagi yang berharga dan bermakna dalam hidup kita. Karena hampir semua, “sekali pakai, lalu buang”. BUKAN seperti itulah, maksud Allah ketika Ia menciptakan manusia. Manusia diciptakan sebagai pribadi. Dan setiap pribadi adalah “gambar Allah”. Mulia, luhur dan amat terhormat, tidak “sekali pakai”. Manusia juga diciptakan di dalam keterkaitan dan keterhubungan dengan yang lain : dengan Allah, dengan sesama, dengan alam, dengan diri sendiri. Manusia adalah makhluk yang relasional.
Relasi-relasi ini adalah mulia dan luhur. Di dalam relasionalitasnya. Menjadi dirinya yang sepenuhnya Sebab itu, di dalam relasionalitas ini tak satu pun tidak berharga. Tak satu pun boleh kita perlakukan “sekali pakai, lalu buang”. Inilah yang mesti kita temukan kembali, di dalam kehidupan yang semakin dikuasai oleh roh “sekali pakai”. Atau, kita sendiri akan dibuang. *