November 27, 2025

Gereja Ramah Demokrasi: Misi Kenabian di Tengah Demokrasi yang Sekarat

0
Screenshot (1550)

Oleh: Jeirry Sumampow, S.Th, Warga Jemaat GPIB Paulus Jakarta

Di tengah riuhnya pekik kebebasan yang disalahartikan dan geliat oligarki yang mencengkeram, kita harus berani mengakui: demokrasi kita sedang sekarat. Ia bukan hanya oleng, tapi terengah-engah, disumbat oleh polarisasi akut, banjiran disinformasi, dan erosi kepercayaan publik yang parah.

Dalam lanskap yang muram ini, pertanyaan tentang peran gereja di ruang publik tak lagi bisa ditunda; ia adalah sebuah panggilan kenabian yang mendesak. Karena itu, konsep gereja ramah demokrasi yang sedang digagas oleh Majelis Sinode GPIB melalui Departemen Germasa, mestinya bukan sekadar frasa manis, melainkan sebuah strategi fundamental untuk gereja agar tetap relevan, berdampak, dan menjadi agen pemulihan di tengah krisis kebangsaan.

Ketika Demokrasi Berada di Ujung Tanduk: Sebuah Diagnosis Realistis

Kita tak bisa menipu diri. Gejala kematian demokrasi begitu kentara. Oligarki telah menjadi kanker yang menggerogoti. Jeffrey Winters, dalam karyanya Oligarchy (2011), dengan tajam menguraikan bagaimana segelintir elit kaya dan berkuasa mampu mengendalikan sistem politik dan ekonomi, menundukkan institusi negara, bahkan memanipulasi opini publik demi melanggengkan kepentingan mereka. Hasilnya? Demokrasi hanya menjadi cangkang kosong, ritual elektoral tanpa substansi partisipasi rakyat yang bermakna. Suara rakyat tereduksi menjadi sekadar angka di bilik suara, tanpa daya tawar nyata setelahnya.

Lebih parah lagi, ruang publik kita diwarnai oleh polarisasi ekstrem yang kian meruncing, diperparah oleh tsunami disinformasi dan hoaks. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat demokratisasi informasi, justru seringkali berubah menjadi medan pertempuran narasi yang mematikan nalar dan memupuk kebencian. Seperti yang diperingatkan oleh Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow (2011), bias kognitif kita rentan dimanipulasi, membuat kita terjebak dalam echo chamber dan semakin sulit menemukan titik temu. Akibatnya, dialog konstruktif mati suri, dan kita, sebagai bangsa, terpecah belah dalam kubu-kubu yang saling curiga. Kepercayaan terhadap institusi negara, media, bahkan sesama warga, luntur. Ini adalah kondisi kritis, di mana sendi-sendi demokrasi sedang ambruk.

Cermin Retak di Rumah Tuhan: Problematika Demokrasi di Gereja

Ironisnya, saat kita meratapi kondisi demokrasi bangsa, kita seringkali luput bercermin. Bagaimana mungkin gereja berteriak tentang keadilan di luar jika di internalnya sendiri masih sering dijumpai praktik anti-demokrasi?

Banyak gereja masih bergumul dengan pola kepemimpinan yang sentralistik atau oligarkis, di mana keputusan krusial didominasi oleh segelintir rohaniwan atau majelis yang minim transparansi dan partisipasi jemaat. Apakah suara kaum muda, perempuan, atau bahkan kelompok rentan di dalam gereja benar-benar didengar dan diperhitungkan dalam pengambilan keputusan? Apakah ada mekanisme akuntabilitas yang jelas terkait pengelolaan keuangan gereja atau penggunaan dana kolekte? Seringkali, pertanyaan-pertanyaan mendasar ini dijawab dengan retorika semata, tanpa praktik nyata.

Budaya ‘patuh mutlak’ dan ‘anti-kritik’ yang seringkali disalahartikan sebagai kesalehan atau ketaatan iman, semakin memperparah problem ini. Kritik konstruktif terhadap pemimpin gereja seringkali dianggap sebagai pemberontakan atau kurangnya iman, menciptakan lingkungan yang represif terhadap suara-suara yang tidak selaras, sumbang atau tidak harmonis. Padahal, tanpa kritik, sebuah institusi tidak akan pernah bisa berbenah dan bertumbuh. Jika internal gereja sendiri belum mempraktikkan nilai-nilai partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, bagaimana mungkin ia punya legitimasi moral untuk menyerukan prinsip-prinsip ini di ruang publik? Inilah paradox yang harus kita pecahkan.

Gereja Ramah Demokrasi: Membangun Kembali dari Reruntuhan

Lantas, apa itu gereja ramah demokrasi dan mengapa ia menjadi sedemikian penting di tengah krisis ini untuk dilakukan oleh GPIB? Secara sederhana, ini adalah inisiatif gereja yang secara sadar dan sistematis mau menginternalisasi serta mempraktikkan nilai-nilai inti demokrasi – partisipasi, kesetaraan, akuntabilitas, keadilan, dan penghormatan terhadap keberagaman – baik dalam tata kelola internalnya maupun dalam keterlibatannya di ruang publik. Ini bukan tentang gereja menjadi partai politik tentunya, melainkan menjadi komunitas profetik yang berani menyuarakan kebenaran, menjadi suara bagi yang tak bersuara (voice of voiceless), dan menjadi teladan bagi bangsa.

Secara teologis, ini bukanlah hal baru atau mengada-ada. Iman Kristen, sejak awal, memiliki dimensi transformatif yang kuat. Yesus Kristus adalah teladan pembela kaum marjinal, penantang struktur penindas, dan pengajar tentang kasih yang mengasihi tanpa batas. Ronald Sider, dalam Rich Christians in an Age of Hunger (1977), menegaskan bahwa iman Kristen memanggil umatnya untuk terlibat aktif dalam perjuangan keadilan sosial dan politik. Mengasingkan diri dari problem dunia berarti mengkhianati panggilan iman itu sendiri.

Oleh karena itu, urgensi gereja ramah demokrasi sangatlah krusial:

  1. Gereja sebagai Agen Pemulihan Nalar Publik: Gereja dapat menjadi benteng terakhir yang mengajarkan literasi politik dan media kepada jemaat dan masyarakat. Ini termasuk kemampuan membedakan fakta dari hoaks, menganalisis narasi yang bias, dan berpikir kritis di tengah hiruk-pikuk informasi. Gereja bisa menjadi ruang aman bagi dialog antar-perbedaan, menjembatani jurang polarisasi yang menganga.
  2. Gereja sebagai Penjaga Etika Publik: Di tengah dekadensi moral dan korupsi yang masif, gereja harus berani tampil sebagai watchdog moral yang tidak kompromi. Ini berarti berani mengkritisi kebijakan yang tidak adil, menuntut akuntabilitas dari para pemimpin, dan menyuarakan protes terhadap praktik-praktik oligarkis yang merugikan rakyat.
  3. Gereja sebagai Teladan Demokrasi Internal: Sebelum berbicara lantang di luar, gereja harus terlebih dahulu menjadi model praktik demokrasi yang sehat di internalnya. Ketika jemaat merasakan partisipasi, transparansi, dan keadilan dalam gerejanya sendiri, mereka akan lebih termotivasi untuk memperjuangkan nilai-nilai yang sama di masyarakat luas.

Membangun Jembatan Menuju Demokrasi yang Matang: Langkah Konkret dan Mitigasi Risiko

Lantas, bagaimana gereja mewujudkan visi ini di tengah segala tantangan? Ini adalah sebuah proyek jangka panjang yang membutuhkan keberanian, kesabaran, dan perencanaan matang.

Untuk mewujudkan cita-cita ini, gereja perlu menyiapkan pondasi yang kokoh. Pertama, revitalisasi pendidikan teologi adalah sebuah keharusan. Kurikulum kita tidak boleh lagi hanya berkutat pada dogma dan ritual semata, melainkan harus diperkaya dengan perspektif yang lebih sosial-politik. Ini berarti membekali calon pemimpin gereja dengan pemahaman mendalam tentang isu-isu kontemporer: hak asasi manusia, keadilan ekonomi, tata kelola pemerintahan yang baik, hingga literasi digital untuk menghadapi banjir disinformasi. Pemimpin gereja masa depan haruslah teolog sekaligus analis sosial yang mumpuni, mampu menjembatani iman dengan realitas.

Kedua, reformasi tata kelola internal gereja adalah cermin pertama dari komitmen kita. Gereja harus berani mengevaluasi dan mereformasi strukturnya agar lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Ini berarti membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi jemaat dalam pengambilan keputusan, bahkan yang paling krusial sekalipun. Mekanisme pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan dan kebijakan strategis haruslah terang benderang, bukan lagi rahasia segelintir elite. Budaya ‘patuh’ tanpa kritik harus diganti dengan budaya dialog dan kritik konstruktif, tempat setiap suara dihargai sebagai bagian dari hikmat bersama.

Ketiga, pengembangan kapasitas jemaat adalah investasi masa depan. Gereja perlu secara aktif menyelenggarakan forum-forum diskusi reguler tentang isu-isu publik, pelatihan advokasi, hingga simulasi diskusi kebijakan. Tujuannya sederhana: agar jemaat tidak hanya menjadi pendengar pasif atau penganut buta, melainkan agen perubahan yang cerdas, kritis, dan berani bersuara untuk kebenaran dan keadilan.

Terakhir, membangun jaringan strategis dengan berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan media independen adalah kunci untuk memperluas dampak. Gereja tidak bisa bekerja sendiri. Sinergi dengan organisasi-organisasi yang memiliki visi serupa untuk demokrasi yang sehat akan memperkuat daya tawar dan jangkauan gereja dalam menyuarakan aspirasi dan mengadvokasi perubahan. Seperti yang ditunjukkan oleh Robert D. Putnam dalam Bowling Alone (2000), pembangunan modal sosial melalui jejaring adalah esensial untuk kesehatan demokrasi.

Tentu, langkah-langkah ini tidak akan mulus. Akan selalu ada tantangan dan risiko. Gereja bisa dituding berpolitik praktis, kehilangan jemaat yang tidak sepakat dengan arah keterlibatan publiknya, atau bahkan menghadapi ancaman dan tekanan dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kritik profetiknya. Potensi bumerang ini nyata dan tidak bisa diabaikan. Namun, untuk meminimalisir risiko tersebut, gereja harus konsisten pada nilai-nilai dan tujuan profetiknya, bukan pada kepentingan elektoral jangka pendek. Setiap kritik atau advokasi harus didasarkan pada data dan analisis yang kuat, bukan sekadar opini atau emosi. Komunikasi harus dilakukan secara bijak, tidak provokatif, namun tetap tegas dalam menyuarakan kebenaran. Penting juga untuk memahami bahwa menghadapi resistensi adalah bagian dari jalan ini, dan gereja harus meresponsnya dengan dialog konstruktif, kesabaran, dan keteguhan hati, menunjukkan bahwa gereja adalah bagian dari solusi, bukan penambah masalah.

Gereja ramah demokrasi adalah sebuah panggilan yang mendesak bagi gereja untuk tidak hanya peduli pada keselamatan jiwa di surga, tetapi juga pada keadilan dan martabat manusia di bumi. Dalam konteks demokrasi kita yang sedang sekarat, dan problematika internal gereja yang tak bisa diabaikan, inilah saatnya gereja tampil sebagai pelopor kematangan publik, menjadi terang di tengah kegelapan, dan garam yang memberi rasa pada kehidupan berbangsa kita. Panggilan ini, lebih dari sekadar harapan, adalah mandat ilahi yang tak terelakkan.

Apakah gereja kita berani mengambil langkah ini? Kita tunggu. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *