Komisi VII DPR RI Menyoroti Implementasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT)

0

JAKARTA, Update – Komisi VII DPR RI menyoroti implementasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Seperti dilansir laman DRP RI, Rabu (23/11/2022) disebutkan, beleid itu mematok harga gas bumi bagi penyedia tenaga listrik untuk kepentingan umum, termasuk PT PLN (Persero), adalah 6 dolar AS per MMBTU (Million British Thermal Unit).

Secara keseluruhan, harga gas tersebut berlaku bagi tujuh golongan industri, yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Lanjut disampaikan anggota Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga mempertanyakan pemberlakuan HGBT kepada seluruh sektor yang disebut dalam Perpres 121. Ia mendapati temuan, adanya pemberlakuan HGBT kepada industri yang tidak sesuai dengan Perpres 121, dimana terdapat salah satu industri yang tidak mendapatkan fasilitas tersebut.

Menurutnya, hal tersebut membutuhkan penjelasan, karena implementasi ini menjadi bagian penting mendorong tumbuhnya industri petrochemical Tanah Air dan juga tumbuhnya industri di luar tujuh industri existing ini.

“Apakah karena mereka (perusahaan) swasta, ataukah memang di Perpres itu disebutkan hanya untuk (perusahaan) BUMN, tidak untuk swasta. Kami ingin mendapatkan masukan dari Pak Menteri, ada pemberlakuan yang sifatnya berbeda antara satu industri dengan industri lainnya terhadap penetapan-penatapan harga gas, terhadap tujuh sektor industri,” kata Lamhot dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif beserta jajaran, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (21/11/2022).

Politisi Partai Golkar itu semula berharap, pasca-pemberlakuan Perpres 121 membuat tujuh sektor industri yang disebutkan dalam beleid tersebut dapat tumbuh dan berkembang, dimana saat ini angka importasinya sangat tinggi. Termasuk kepada sektor pupuk. Lamhot melihat setelah Perpres 121 terbit, tidak ada kenaikan kapasitas produksi pupuk.

Sehingga saat berkunjung ke daerah pemilihan (dapil), ia mendapat keluhan soal kelangkaan pupuk. Artinya, pasca penetapan Perpres ini, tidak ada kenaikan kapasitas produksi pupuk yang signifikan.

“Saya membaca laporan hasil keuangan masing-masing industri pupuk kita. Yang saya lihat, justru bukan kapasitas produksinya yang naik, tapi yang naik justru adalah angka ekspor amoniaknya. Sehingga kami khawatir, jangan sampai terjadi sebuah deviasi terhadap kebijakan. Yang tadinya Perpres 121 itu flat 6 dolar (AS per MMBTU), kita harapkan kapasitas produksi pupuknya naik, tapi malah ekspor amoniak dari produsen pupuk yang naik. Itu yang kami lihat dari sekarang ini pasca-Perpres 121, tidak ada kemanfaatannya terhadap masyarakat kita. Pupuk tetap langka dimana-mana,” kritik Legislator Dapil Sumatera Utara II tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Nasril Bahar menilai beberapa industri yang diatur dalam Perpres 121, seperti  kaca, sarung tangan, keramik dalam kondisi stagnan, bahkan hingga tergerus dan mengalami penurunan produksi. Ia pun menggunakan istilah ‘jangan sempat pasien mati, ambulans baru datang’.

Menurut politisi PAN itu, dengan adanya rencana perubahan dan penambahan terhadap beberapa industri yang belum ditandatangani Menteri ESDM karena membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan, Komisi VII DPR RI perlu mendesak Menkeu percepatan penetapan HGBT.

“Karena saya khawatir, kita menuju 2023 ini ketar-ketir, beberapa industri akan melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Apalagi industri yang berharap terhadap harga gas 6 dolar. Catatan ini penting, karena kami bermitra dengan Kementerian Perindustrian juga menyampaikan hal yang sama.

Apakah nanti HGBT ini mau diperluas, karena 2023 ini isunya sangat luar biasa terhadap PHK yang muncul di beberapa industri. Kita tentunya harus memikirkan ke depan sebelum beberapa manufaktur yang berbasis bahan bakar gas, jangan sampai mereka melakukan PHK, kita baru berteriak,” tegas Legislator Dapil Sumut III itu.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan pemerintah melihat unsur subsidi dalam perhitungan HGBT untuk beberapa industri. Harapannya, industri selain Public Service Obligation (PSO), bisa berkembang dan bersaing di pasar domestik dan internasional.

“Realisasi paling banyak untuk PSO itu PLN dan pupuk yang memang menyerap gas paling besar, terutama di sektor kelistrikan. Pupuk ini juga industrinya menanggung misi subsidi, ini juga memberikan kompensasi balance terhadap pengeluaran pemerintah,” jelas Arifin.

Arifin menambahkan realisasi penyerapan gas yang ada pada 2020 hingga 2022 mengalami kenaikan konsumsi pada level 90 persen. Terkait hal itu, ia tengah menanyakan ke Kementerian Perindustrian, termasuk dampak non-PSO bisa meningkatkan kinerja dan kapasitas produksi.

Ia juga menjelaskan bahwa memang sedang dilakukan evaluasi untuk penambahan sektor baru yang berhak menerima HGBT. Namun, Arifin menegaskan perlu persetujuan Menteri Keuangan sebagai pengelola pendapatan pajak dan non-pajak dari sektor migas. /fsp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *