Anggunnya Sekesalam, yang Dulu Rusak Parah Tak Terawat

GKS kini indah dan nyaman, menyenangkan tenant beraktifitas.
GKS menarik perhatian, revenue GKS mampu mendongkrak kondisi asset. Oleh appraisal yang tadinya dinilai berkisar Rp 9 milyar kini menjadi dua kali lipat mendekati angka Rp 20 milyar.
ADALAH sebuah fakta bahwa Griya Krida Sekesalam atau GKS yang terletak di kawasan Timur Kota Bandung merupakan salah satu asset GPIB di lingkungan Mupel Jabar 1 yang mengalami masa surut berkepanjangan.
Dari sebuah gagasan GPIB Maranatha Bandung mempunyai lokasi retreat, kemudian ditindaklanjuti lewat peran serta seluruh warga jemaat. Salah satu jemaat, Keluarga Hutabarat bersedia menyediakan lokasi dengan harga khusus sehingga rencana di atas kertas menjadi sebuah kenyataan.
Setelah menjadi tuan rumah dua kali Persidangan Sinode pada pertengahan 1990-an, mulailah perjalanan panjang GKS mengalami dalam upaya bertahan hidup. Semua rencana memberdayakan GKS (setelah diserahkan oleh GPIB Maranatha Bandung kepada GPIB) yang dikumandangkan, pada akhirnya terhenti pada tahapan ide.


Pengurus GKS, yang sejak masa awal selalu melibatkan Pnt Manuel Naray (alm) dari GPIB Maranatha Bandung terus bekerja keras dari segi pikiran, tenaga hingga suntikan dana untuk menghidupi karyawan dan memastikan dana operasional bisa tertutupi.
Adalah fakta, bahwa pada perjalanan panjang GKS untuk bertahan hidup, peran 11 jemaat di Mupel Jabar 1 dari sisi bantuan dana tidak bisa diabaikan. Meskipun kontrak dan sewa-menyewa GKS sering dilakukan untuk kegiatan sertifikasi guru, pelatihan security service, hingga akhir kepengurusan 2022 kondisi gedung GKS semakin memperihatinkan.
Renovasi gedung dan fasilitas bangunan, termasuk kamar mandi, ruang pertemuan, aula kecil dan ruang tidur belum tersentuh secara menyeluruh. Kondisi kamar yang bisa digunakan dan layak menurun drastis menjadi hanya 15 hingga 25 persen.
Adalah sebuah fakta, ketika kepengurusan pimpinan Alm. Pnt Manuel Naray melakukan serah terima kepada pengurus GKS periode 2022-2027, beban hutang tersisa hanyalah PBB sebesar Rp 54 juta yang merupakan akumulasi dari hutang PBB tahun-tahun sebelumnya yang belum terlunasi.


Beban hutang PBB inilah yang kemudian diajukan oleh pengurus GKS (2022-2027) kepada BP Mupel Jabar 1 untuk dicarikan jalan keluar. Beban PBB sebesar Rp 54 juta atas asset GPIB ini juga disampaikan kepada Majelis Sinode GPIB. Jawaban BP Mupel Jabar 1 dan Majelis Sinode GPIB sama bunyinya, “Kami tidak punya dana untuk itu.”
Adalah sebuah fakta lain, bahwa pengurus GKS kemudian melakukan dua kali pertemuan dengan Majelis Sinode, dalam hal ini secara khusus dengan Ketua 4 untuk mendiskusikan jalan keluar penanganan GKS. Dari dua pertemuan yang terjadi, Ketua 4 Majelis Sinode tidak merasa perlu memberikan rambu-rambu. Pesannya, sangat singkat, pengurus GKS harus mencari investor.
Adalah sebuah fakta juga, bahwa Tuhan memberkati upaya pengurus GKS dengan mendatangkan penyewa , yakni sebuah Lemba Pelatihan Kerja untuk mengirim tenaga kerja ke Jepang. Keterbatasan fasilitas dan kondisi gedung yang memprihatinkan merupakan handikap utama yang harus dihadapi untuk memenuhi kriteria minimal yang diminta penyewa. Tetapi semuanya harus diawali pelunasan pajak (PBB).
Menjalankan pesan Ketua 4 Majelis Sinode GPIB untuk mencari investor, dan mengikuti jejak langkah pengurus GKS terdahulu dalam mengikat kontrak kerjasama dengan pihak ketiga, kontrak pengurus GKS dengan pihak LPK kemudian disepekati di depan Notaris untuk masa lima tahun. Kontrak dilakukan pengurus GKS selaku penerima kuasa dari GPIB lewat SK pengangkatan mereka sebagai pengurus.
Adalah juga sebuah fakta, bahwa dari sewa-menyewa ini kondisi GKS bisa mengalami perubahan signifikan. Fasilitas tempat tidur dan kamar mandi/WC direnovasi dan mengalami peremajaan. Gedung dan kamar-kamar tidur lantai bawah yang sebelumnya tidak bisa ditempati, sekarang sudah layak huni setelah mengalami pergantian pintu, jendela dan renovasi tembok serta plafon.
GKS yang tadinya terbengkalai dan tidak menarik perhatian, sudah menjelma menjadi GKS yang “sexy”. Seperti lagu Tabola Bale ciptaan Siprianus, …Dulu Rambut Kepang Dua, Sekarang Merah-Merah itulah GKS kini Dulu Kusam, Kini Sexy…
Tentu saja GKS mulai menarik perhatian, apalagi revenue GKS mampu mendongkrak kondisi asset yang oleh appraisal perusahaan asuransi yang tadinya dinilai berkisar Rp 9 milyar menjadi dua kali lipat mendekati angka Rp 20 milyar.
Lewat Mupel Jabar 1, pengurus GKS kemudian mampu membantu jemaat-jemaat terutama jemaat kecil di lingkungan Mupel Jabar 1 untuk memberangkatkan utusan ke Persidangan Sinode. GKS juga membantu jemaat-jemaat di Jabar 1 dalam pengadaan kebutuhan untuk ibadah gereja.
Adalah fakta, bahwa dalam dua kali PST, baik di Samarinda dan Salatiga, pengurus GKS tidak diberi kesempatan untuk melaporkan hasil kerja mereka di depan persidangan sinode. Meskipun pengurus GKS sudah mengajukan permohonan presentasi kerja mereka di persidangan. Pesan yang diterima pendek saja, tidak perlu!
Hanya beberapa hari sebelum PST di Salatiga, BPPG telah menuntaskan pemeriksaan di GKS Bandung. Dan hasil pemeriksaan sangat jelas, bahwa GKS telah menjalankan tugas mereka sesuai dengan Tata Gereja.
Sayangnya, hasil pemeriksaan BPPG ini tidak pernah diungkapkan oleh Majelis Sinode. Ini juga yang memungkinkan munculnya narasi negatif terhadap GKS pada PST di Salatiga bulan Maret lalu.Narasi ini ditolak pada sidang komisi PEG.
Lantas, di mana kekisruhan yang kemudian mendatangkan somasi terhadap Majelis Sinode dan diikuti pembekuan serta pencabutan SK kepengurusan GKS per 23 Oktober 2025?
Pemicunya adalah sikap Majelis Sinode yang menyatakan, GKS memerlukan surat kuasa untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Dan ini kemudian dinyatakan menjadi dosa terbesar pengurus GKS, yang selama ini mengikuti langkah pengurus-pengurus sebelumnya selama tiga dekade mengikat kontrak kerjasama tanpa surat kuasa dari Majelis Sinode. Disebutkan, kesalahan lain adalah pengikatan konrrak melebihi batas waktu masa tugas kepengurusan GKS.
Yang bikin penasaran, kenapa tidak membangun komunikasi? Itu pertanyaan yang kemudian terjawab oleh fakta bahwa setiap kali pengurus GKS ingin berkomunikasi, MS hanya menyodorkan Yahum sebagai perwakilan dan kuasa mereka.
Pertanyaannya, apakah ketika Ketua 4 Majelis Sinode memberikan arahan mencari investor, ada rambu-rambu yang diberikan kepada pengurus GKS? Pertanyaan lain, yang perlu kita pikirkan dengan kejujuran hati, apakah betul persoalan utamanya hanya sekadar surat kuasa dan batas waktu kontrak sewa-menyewa?
Belajar dari apa yang terjadi dengan STIKES Griya Husada Surabaya, kita bisa mendapatkan sebuah pola yang perlu kita jadikan bahan kajian. Sesuatu yang terlalu “sexy” dan menarik hati tidak hanya akan mencuri perhatian. Rasa ingin memiliki dan menguasai bakal sulit terbendung dan tentu saja hal itu sangat manusiawi.
Adalah sebuah fakta, bahwa pengurus GKS yang merasa tidak melakukan kesalahan merasa perlu menentang pembekuan SK kepengurusan karena hasil pemeriksaan BPPG tidak menunjukkan adanya penyelewengan dan kesalahan. Pendekatan hukum oleh Yahum, yang kemudian dirasakan perlu ditanggapi melalui somasi oleh pengurus GKS.
Adalah fakta, bahwa kita sebagai warga GPIB selama ini tidak mendapatkan informasi yang benar dan terbuka mengenai GKS. Mengapa tidak pernah dipresentasikan pada persidangan sinode? Apa yang dilakukan oleh pengurus GKS? Apa target jangka pendek dan jangka panjang pengurus GKS?
Tentu saja tidak ada yang bisa menjelaskan tentang Sekesalam lebih baik dari pengurus GKS. Tantangannya, apakah sebagai warga GPIB kita tidak punya hak untuk mendapatkan informasi tersebut? Apakah kita akan terus membiarkan pembungkaman informasi terjadi di depan mata kita? /Ajax-F17***
