September 11, 2025

“Politik Kita Penuh Pidato Manis, Miskin Keberanian…”

0
Screenshot (1863)

Jeirry Sumampow, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia

Agama mengajarkan kerendahan hati, politik menjanjikan kekuasaan; ketika keduanya disatukan tanpa etika, lahirlah kesombongan dan kebohongan yang mengatasnamakan Tuhan.

Pandangannya soal agama kaitannya dengan politik selalu menyajikan hal-hal baru. Tak heran kalau ia selalu menjadi narasumber dalam berbagai event skala nasional. Ia adalah Jeirry Sumampow, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia.

Lelaki bergelar Sarjana Teologia ini dalam akunnya di facebook menyoroti bagaimana sebenarnya peran agama yang harus diterapkan secara benar bukan malah sebaliknya. Jeirry juga menyoroti bagaimana politik dan kekuasaan yang bisa melahirkan arogansi.

“Agama mengajarkan kerendahan hati, politik menjanjikan kekuasaan; ketika keduanya disatukan tanpa etika, lahirlah kesombongan dan kebohongan yang mengatasnamakan Tuhan,” tandas Jeirry.

Menurutnya,  politik yang ada sekarang adalah kata-kata penuh pidato manis, terangkai indah dalam kata yang diramu indah dengan kata-kata manis berbalut janji manis, tanpa kejujuran.

“Politik kita penuh pidato manis, kata manis dan janji manis, tapi miskin keberanian dan kemauan untuk jujur,” tandasnya. Keadilan dalam politik sering kalah kuat dan kalah cepat dengan lobby di ruang gelap.

Politik tanpa moral hanyalah seni mempercantik kebohongan! Diatas kertas, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Di lapangan, mereka cuma penonton yang membayar mahal untuk duduk di tribun.

Demokrasi seharusnya menjadi panggung rakyat, bukan panggung sirkus para elit politik. 80 Tahun Merdeka, tapi di politik, perempuan masih sering dipanggil “Ibu” hanya untuk menyajikan kopi, bukan menyajikan kebijakan!

Dalam sebuah artikelnya beberapa waktu lalu Jeirry mengatakan, di era ketika kebohongan dipoles menjadi kebenaran, dan kekuasaan lebih dipercaya daripada integritas, gereja harus kembali menjadi rumah bagi kebenaran yang jujur dan terang. Gereja harus berani menjadi tidak populer, jika memang itulah harga dari mempertahankan nilai-nilai Injil Kristus.

Demokrasi tanpa gereja yang bernubuat akan kehilangan daya moralnya. Dan gereja tanpa keberanian untuk bersuara akan kehilangan jiwanya.

Satnya gereja membaca ulang panggilan kenabiannya: menjadi suara yang membebaskan, menjadi lentera dalam kegelapan, dan menjadi tubuh Kristus yang hadir di tengah dunia, bukan untuk menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi untuk mentransformasikannya. Sebab, hanya ketika gereja berani menyuarakan kebenaran, maka demokrasi bisa kembali bernapas. /tat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *