Dari Cidahu Ke Depok: Serial Intoleransi Tanpa Akhir

Oleh: Jeirry Sumampow.
KASUS intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama di negeri ini, persis serial drama Korea, tak ada habisnya. Episode demi episode terus tayang, tanpa penyelesaian yang pasti. Begitu satu kasus mereda dari pemberitaan, kasus baru sudah muncul, siap menyita perhatian. Dan yang paling menyesakkan – ini yang berbeda dengan drama Korea – skenario akhirnya selalu sama: nihil. Keadilan seolah fatamorgana yang tak pernah bisa digapai oleh mereka yang teraniaya.
Fenomena memilukan ini kembali dipertontonkan secara vulgar dalam dua kasus teranyar yang hanya berselang kurang dari dua minggu: pembubaran retret remaja Kristen di Cidahu, Sukabumi (Jumat, 27/06), dan penolakan pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Studio Alam di Kalibaru, Cilodong, Depok (Sabtu, 5/07). Keduanya terjadi di Jawa Barat, sebuah provinsi yang dari tahun ke tahun memang tak pernah absen memproduksi kasus-kasus intoleransi dan kekerasan berbasis SARA. Mirisnya, hasil akhirnya sama-sama zonk.
Aksi massa memang berhasil diredam, tapi kelompok yang tertindas tak pernah mendapatkan keadilan utuh sesuai amanat konstitusi. Kehendak massa intoleran justru lebih sering diakomodasi, sementara korban diminta sabar dan mengalah. Sungguh ironis, bukankah seharusnya negara berdiri tegak melindungi warganya, bukan justru meminta korban bernegosiasi dengan ketidakadilan?
Mengapa Negara Tak Bertindak?
Pertanyaan fundamental yang terus menghantui adalah: Mengapa kasus-kasus seperti ini terus berulang? Lalu, di mana sebenarnya peran negara, pemerintah, dan aparat kepolisian dalam menjamin kebebasan beragama dan bertindak tegas terhadap pelaku intoleransi? Mengapa mereka seolah kesulitan, atau mungkin enggan, menindak tegas para pelaku kekerasan dan kelompok intoleran? Dalam banyak kasus, termasuk dua contoh di atas, pembiaran nyata terlihat. Negara abai menjalankan perannya sebagai pelindung dan penjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya.
Agaknya, ini bukan sekadar ketidakmampuan, melainkan ketakutan. Tapi, ketakutan akan apa? Apakah ada faktor politik di balik sikap lembek pemerintah? Di sinilah kita harus membedah persoalan ini dari sisi hukum dan politik.
Secara hukum, Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menjamin kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ada perangkat hukum yang kuat, dari KUHP hingga UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang seharusnya menjadi landasan kuat bagi aparat untuk menindak siapa pun yang mengganggu kerukunan dan kebebasan beragama. Namun, dalam praktiknya, payung hukum itu seolah rapuh, bahkan tak berdaya di hadapan teriakan sangar dan desakan massa intoleran.
Inilah titik krusialnya: faktor politik. Ketakutan pemerintah untuk bertindak tegas seringkali berakar pada kalkulasi politik elektoral. Kelompok-kelompok intoleran, meskipun minoritas, kerap kali memiliki daya mobilisasi yang tinggi dan suara yang lantang. Mereka seringkali dijadikan komoditas politik atau basis dukungan bagi kelompok-kelompok tertentu. Partai politik atau pejabat publik khawatir kehilangan dukungan jika bersikap tegas terhadap kelompok ini.
Kecenderungan ini serupa dengan apa yang digambarkan oleh Robert Dahl dalam karyanya tentang pluralisme dan poliaraki, khususnya dalam bukunya Who Governs? (1961). Dahl menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok kepentingan, meskipun kecil, dapat secara efektif mem-veto kebijakan atau tindakan pemerintah jika mereka memiliki kekuatan terorganisir yang cukup.
Dalam konteks kita, kelompok intoleran ini menjadi “veto player” yang mampu menghentikan penegakan hukum demi kepentingan mereka. Akibatnya, penegakan hukum menjadi tebang pilih, dan negara memilih jalan pintas berupa “mediasi” yang justru lebih sering menguntungkan pihak pelaku intoleransi.
Pembiaran ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga meresap hingga ke daerah. Aparat lokal, mulai dari lurah, camat, hingga kepolisian setempat, seringkali terjebak dalam dilema antara menegakkan hukum atau menjaga “stabilitas” lokal yang sering diartikan sebagai “mengikuti kemauan mayoritas”.
Fenomena ini, di mana negara gagal melindungi minoritas dari tekanan mayoritas atau kelompok kuat, seringkali dibahas oleh para ahli hak asasi manusia internasional. Amartya Sen misalnya, dalam bukunya Development as Freedom (1999), secara implisit menyoroti bahwa kebebasan, termasuk kebebasan beragama, tidak akan tercapai sepenuhnya jika negara gagal melindungi warganya dari ancaman-ancaman yang datang dari sesama warga. Ketika aparat tidak bertindak tegas, bahkan cenderung permisif, itu sama saja dengan mengirimkan pesan bahwa tindakan intoleran itu diizinkan, atau setidaknya, tidak akan dihukum berat. Ini menunjukkan kegagalan struktural negara dalam menjamin hak-hak konstitusional warga negaranya.
Otoritarianisme Terselubung
Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi macam apa yang sedang kita jalani sekarang? Demokrasi yang seharusnya menjamin hak-hak asasi setiap individu, melindungi minoritas dari tirani mayoritas, dan menjunjung tinggi supremasi hukum, kini terlihat compang-camping. Ketika kebebasan beragama, salah satu pilar fundamental demokrasi, terus-menerus digerogoti oleh aksi-aksi intoleransi tanpa penindakan tegas dari negara, maka esensi demokrasi itu sendiri sedang terancam sekarat.
Demokrasi kita terancam menjadi demokrasi mayoritarian, di mana hak-hak minoritas tunduk pada kehendak mayoritas (atau kelompok yang memanipulasi mayoritas), bahkan jika kehendak itu bertentangan dengan konstitusi. Ini adalah resep menuju otoritarianisme terselubung atau otoritarianisme yang disamarkan, di mana hukum dan keadilan bisa dinegosiasikan dengan tekanan massa. Ini juga melahirkan impunitas, di mana para pelaku kekerasan dan intoleransi merasa kebal hukum, sebab mereka tahu negara tak akan berani menindak tegas.
Larry Diamond, salah satu pakar demokrasi terkemuka dari Stanford University, dalam banyak karyanya, termasuk The Spirit of Democracy (2008), selalu menekankan bahwa salah satu pilar utama konsolidasi demokrasi adalah supremasi hukum dan perlindungan hak-hak minoritas. Ketika supremasi hukum digadaikan demi stabilitas semu atau kalkulasi politik jangka pendek, dan hak-hak minoritas terinjak-injak, maka demokrasi sedang berada di jalur kemunduran. Apabila negara membiarkan anarkisme atas nama agama, itu adalah bentuk pelemahan negara yang sistematis.
Kasus Cidahu dan Depok mungkin hanya kasus kecil yang akan segera berlalu, namun tetap saja, kedua kasus itu adalah cerminan buram wajah demokrasi kita saat ini. Mereka adalah lonceng peringatan bahwa negara selalu goyah dalam menjaga janji kemerdekaan dan amanat konstitusi. Jika pemerintah terus-menerus memilih jalan aman dengan membiarkan atau bahkan mengakomodasi intoleransi demi kepentingan politik sesaat, maka kita tak sedang membangun Indonesia yang maju, beradab dan bermartabat. Kita justru sedang menggali lubang kubur bagi kebhinekaan dan masa depan demokrasi itu sendiri.
Tanpa ketegasan negara dalam menegakkan hukum dan melindungi seluruh warganya, kata “toleransi” dan “demokrasi” hanyalah sekadar ornamen kosong dalam pidato-pidato kenegaraann Presiden dan para pejabat. Untuk itu, perlu diingatkan lagi, kasus intoleransi bukan drama Korea, ini soal nasib bangsa. Karena itu, jangan sampai menjadi serial tanpa akhir, harus diakhiri.
*Penulis adalah Warga Jemaat GPIB Paulus Jakarta dan Koordinator Komite Pemilih Indonesia.
