HIJRAH SANG NABI: YANG TERLUKA, YANG MENYEMBUHKAN

Oleh : Pdt. Boydo Rajiv Hutagalung, M.A, Pendeta GPIB.
Pada 27 Juni 2025, saudara-saudari umat Muslim merayakan Tahun Baru Islam (1 Muharram 1447 H). Ada latar belakang sejarah yang menarik dari perayaan tersebut, serta mengandung spiritualitas sosial, yang menurut saya penting dalam konteks hubungan antar umat beragama dan masyarakat yang sedang terluka saat ini.
Pada tahun 622 M, Nabi Muhammad (sebagaimana diyakini umat Muslim) dan para sahabatnya, melakukan hijrah (migrasi) dari kota Makkah ke Yastrib (kemudian dikenal sebagai Madinah). Migrasi tersebut terjadi oleh karena Nabi Muhammad dan para sahabat (umat Islam perdana) mengalami tekanan, intimidasi, boikot dalam perdagangan, dan ancaman pembunuhan dari kaum Quraisy di Makkah. Hijrah ke Madinah, tempat dan masyarakat yang mau menyambut Nabi Muhammad dan para sahabatnya, menjadi pilihan untuk menemukan ruang di mana pilihan dan penghayatan iman, serta hak-hak kehidupan dapat diakui dan dirayakan.
Menariknya, di tempat hijrah, yaitu Madinah, masyarakatnya sangat majemuk. Ada penduduk lokal dari Suku Aus dan Khazraj (kemudian disebut “Anshar”). Lalu pihak Nabi Muhammad dan para sahabat sendiri yang merupakan bermigrasi dari Makkah (kemudian disebut Muhajirin). Bahkan ada penduduk dari beragam agama, yaitu Yahudi (suku Nadhir, Qainuqa, Quraidlah), dan kelompok Kristen Najran.
Lantas di Madinah, Nabi Muhammad diminta menjadi pemimpin masyarakat lalu melakukan berbagai penataan dan pengembangan kemasyarakatan. Salah satu yang ia upayakan adalah menata hubungan antar warga, lintas suku, lintas agama, agar hidup saling menerima dalam kerukunan dan keadilan
Bahkan di Madinah, dirumuskan konstitusi tertulis untuk menata kehidupan majemuk tersebut yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Di dalamnya diatur bahwa setiap komunitas bebas menjalankan agamanya. Lalu umat Yahudi dan kaum lainnya dianggap sebagai bagian dari satu umat (ummah wahidah) bersama dengan kaum Muslim (baik Anshor maupun Muhajirin), selama mereka tidak memusuhi. Juga disepakati bahwa keadilan ditegakkan bagi semua, tanpa diskriminasi suku maupun agama. Diatur pula tanggung jawab bersama untuk melindungi kota Madinah.
Tampaknya peristiwa penolakan dan diskriminasi yang dialami Nabi Muhammad dan para sahabat di Makkah turut mendorongnya untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Maka hijrah ke Madinah menjadi kesempatan untuk menunjukkan betapa iman yang tulus kepada Allah Yang Maha Esa membuahkan daya transformatif dengan terbentuknya masyarakat plural yang saling menghormati dan saling menjaga, di tempat yang kemudian dinamai Madinah.
Dengan mengetahui latar belakang sejarah di balik Tahun Baru Islam, umat Kristen dapat memahami seperti halnya umat Kristen perdana ditolak oleh masyarakat Yahudi dan Romawi serta diintimidasi bahkan dipersekusi, umat Islam juga pernah mengalaminya.
Sebagaimana umat Kristen perdana mendambakan masyarakat di mana ada kebebasan beragama dan tanpa diskriminasi, demikianlah umat Islam perdana berjuang meraih kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak publiknya. Bahkan, seperti umat Kristen perdana yang tidak membalas dengan melakukan kekerasan, demikian umat Islam perdana. Malahan, hal yang patut diapresiasi dari umat Islam perdana, justru pengalaman buruk dengan penghambatan kebebasan beragama di Makkah, membuat umat Islam perdana memiliki semangat membentuk suatu umat yang merangkul berbagai suku dan agama di Madinah.
Menurut saya, peristiwa Hijrah Nabi Muhammad bersama para sahabat merupakan momen transformasi diri yang sangat penting dan bermakna. Meski 13 tahun sudah berdakwah menyeru pada kebaikan dan menjauhi kejahatan, namun Nabi Muhammad dan para sahabat terus menerus mengalami penolakan, diskriminasi, intimidasi, bahkan ancaman persekusi. Sungguh peristiwa yang pahit dan sebuah pengalaman yang membawa luka. Akan tetapi Nabi Muhammad dan para sahabat berhasil resilien menghadapinya dalam iman yang teguh kepada Allah serta pengharapan pada rahmatNya.
Luka batin ternyata bertransformasi pada kepekaan pada konteks kemajemukan suku dan agama. Kalau umat Islam yang saat itu minoritas ditolak di Makkah, maka di Madinah jangan sampai ketika umat Islam menjadi mayoritas lantas menolak kelompok yang minoritas.
Pengalaman pahit di masa lalu menumbuhkan sikap empati pada sesama, khususnya yang rentan secara sosial. Karena itu, menurut saya peristiwa hijrah memiliki spiritualitas, meminjam istilah yang digunakan oleh Henry J.M. Nouwen, “Yang Terluka, Yang Menyembuhkan”. Dalam bukunya The Wounded Healer (1972), Henri Nouwen mengembangkan gagasan bahwa seorang pelayan atau pembimbing spiritual yang efektif bukanlah orang yang bebas dari luka, tapi justru seseorang yang mengalami luka, dan melalui luka itulah ia mampu memahami, menyembuhkan, dan melayani orang lain. Dalam refleksi saya, inilah spirit yang saya temukan dalam keteladanan Nabi Muhammad serta para sahabat dalam peristiwa hijrah ke Madinah. Seyogyanya, spirit itulah juga yang menyemangati umat Islam di manapun berada, agar setiap pengalaman kepahitan, terluka batin, bukan berubah menjadi sikap-sikap intoleran dan anarkis, melainkan tindakan yang memulihkan, menghadirkan damai, memperjuangkan keadilan yang setara bagi semua kalangan. Umat Islam yang turut menyembuhkan dunia yang sedang terluka.
Semoga momen Tahun Baru Hijriah membawa harapan dan semangat, baik bagi umat Islam maupun Kristen serta agama lainnya, untuk semakin peka pada berbagai peristiwa diskriminasi dan ketidakadilan sosial, termasuk di dalamnya berbagai bentuk kebencian, penolakan, dan penghambatan terhadap kebebasan beragama (seperti alienasi yang dahulu dirasakan Nabi Muhammad bersama para sahabat).
Sebagaimana diwujudkan Nabi Muhammad bersama para sahabat di masyarakat plural Madinah, kiranya umat Islam dan umat agama lainnya bersemangat menjalin persaudaraan dalam pluralitas suku dan agama. Kita berharap agar terus tercipta kesadaran untuk bertoleransi bahkan mendialogkan perbedaan untuk membangun pengenalan dan sikap respek, saling melindungi hak-hak publik agar tercipta keadilan dan keamanan, serta bergotong-royong menghadapi berbagai masalah kemasyarakatan serta membangun Indonesia yang adil, makmur, lestari, dan damai.
Sebab hijrah bukan hanya berpindah tempat, tetapi berpindah sikap, yakni menuju yang pembaharuan diri dan masyarakat menjadi lebih baik. Kepada saudara-saudari umat Muslim, kami mengucapkan, selamat merayakan tahun baru Islam 1 Muharram 1447 H! /brh