PRIBADI, Suatu Inti Identitas
Oleh: Dr. Wahyu Lay, Dosen Filsafat, Penulis Ahli EmitenUpdate.com
Dalam Bahasa Inggris person. Dalam bahasa Latin pesona = topeng atau kedok aktor, karakter yang diperankan. Beberapa Pengertian:
- Sesuatu yang diterima sebagai asal ciri-ciri mental maupun ciri-ciri jasmani.
- Kesatuan tindakan jasmani dan mental dalam aktivitas
- Bentuk jasmani, atau penampilan lahiriah manusia
- Diri yang real dan sejati dari manusia
Sebagai Pribadi
Pribadi adalah nama untuk individu dalam tatanan rohani. Ia merupakan sesuatu yang individual, dianugrahi dengan kodrat rohani yang tak dapat dikomunikasikan. Sesuatu yang berdiri sendiri.
Dalam dunia yang kelihatan ini, hanya manusia sajalah sebagai pribadi. Pribadi ditandakan dengan nama dirinya sendiri dan tampil sebagai subjek dari semua pernyataan dan sebagai pembawa semua atribut. Misalnya : Achmad seorang manusia, ia seorang artis, ia sehat, dan sebagainya.
Dalam bahasa latin dipakai kata suppositum yang berarti ditempatkan dibawah dan dalam bahasa Yunani hypostase yang berarti berdiri dibawah. Maksudnya, pribadi merupakan nama yang mendukung semua pernyataan dan sifat-sifat yang diterapkan pada seseorang.
Hanya kemampuan untuk sadar diri (bersifat rohani) dan penentuan diri termasuk secara hakiki dalam ide pribadi. Tidak perlu perwujudan aktual dari kemampuan ini.
Jadi seseorang anak yang belum lahir juga seorang pribadi. Manusia selalu sadar akan harkat pribadi yang tiada taranya. Pribadi mempunyai nasib dan tujuan unik mutlak yang mengungguli dan mengatasi kepentingan spesies atau masyarakat.
Keunggulan ini menampakan diri teristimewa dalam kebebasan pribadi. Dengan kebebasan itu ia menentukan jalannya tanpa terikat kepada hukum kelompok (spesies) dengan keharusan yang tak terelakkan.
Hal itu tampak dalam imortalitas pribadi yang dengannya ia mengejar kesempurnaan yang terbuka kepadanya saja. Karena itu, seorang pribadi hendaknya jangan pernah digunakan sebagai barang, semata-mata sebagai alat untuk suatu tujuan.
Demi memelihara harkat pribadi, seorang pribadi harus juga memberikan sumbangan kepada masyarakat, ia dapat diminta untuk berkorban, bahkan mempersembahkan hidupnya sendiri.
Beberapa Pandangan
- Dalam sejarah, agama Kristen mempertahankan martabat pribadi manusia yang tidak boleh diperkosa. Agama Kristen mempertahankan harkat dan martabat pribadi seseorang dengan menekankan kodrat rohaninya dengan kebebasan dan keabadiannya. Sebaliknya, terpengaruh oleh Budhisme, Schopenhauer melihat dalam individu, penderitaan yang mendasar yang menuntut keselamatan, pembebasan, kebebasan diperoleh kalau ia melebur dalam semua.
- Meneruskan perkembangan sejak Parmenides sampai Plato dalam pola yang ekstrim. Hegel cenderung meredusir pribadi sebagai momen yang dilewati menuju kepada ide mutlak. Inilah dasar dari kecenderungan kolektivitis dari materialisme dialektis. Sementara di satu pihak pribadi dikorbankan demi kelompok, tetapi di pihak lain, kelompok mencair tanpa bekas. Pribadi ditempatkan sendirian dan tanpa bantuan dari luar dan demikian jalan terbuka karena pengaruh-pengaruh konseptualisme, kepada individualisme. Dalam filsafat Nietzsche kita menemukan garis kolektivitis maupun individualistis, tergantung apakah kita memperhatkan massa atau manusia super, dalam filsafatnya.
- Ortega membedakan pengertian ‘pribadi’ (persona, personeidad) ‘diri’ atau ‘aku’ dengan ‘kepribadian’ atau ‘personalitas’ (personalidad). Kepribadian adalah pola perilaku seseorang didalam dunia. Pribadi (persona) adalah akar struktural dari kepribadian itu. Suatu inti identitas yang ‘terletak di bawah’ (suppositum) pelbagai fakta pengalaman yang berbeda-beda bahkan sering tidak berhubungan satu sama lain. Hidup manusia akan menjadi hidup ontentik atau hidup sejati apabila kepribadian sesuai dengan pribadi (persona). Hidup manusia akan menjadi semu atau tidak otentik manakala kepribadian mengabaikan pribadi (persona).
Ini terjadi misalnya bila seseorang secara teoritis menolak pendapat bahwa manusia itu persona atau bila orang secara praktis membiarkan diri terseret arus ‘massa’, ikut ikutan atau membiarkan kebebasannya dirampas.
Hemat Ortega, hidup tidak otentik tidak hanya mengabaikan keakuan manusia, melainkan juga menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bersama manusia dalam masyarakat.
Untuk memahami pengertian ‘persona’ (pribadi) dalam filasafat Ortega Y Gasset, ada delapan kategori yang satu sama lain berkaitan.
Pertama, persona tidak bisa diobjektivasi secara tuntas karena selalu berkembang dan bertumbuh. Kedua, persona bukan sesuatu yang selesai, bukan dalam pengertian Aristoteles sebagai potensi yang sudah ada yang harus terus menerus dijadikan aktual. Melainkan, persona adalah sang Aku yang oleh keterlibatannya dalam sejarahnya sendiri menciptakan potensi-potensinya yang baru.
Ketiga, persona tak terselami sampai ke dasar-dasarnya, bukan karena jauhnya, melainkan justru karena keintimannya dengan kita. Seperti keintiman dua orang yang sedang bercinta juga sulit diselami dan dijelaskan bahkan oleh orang yang terlibat itu.
Keempat, persona tidak bisa ditunjuk dengan nomor-nomor dan hanya bisa terungkap manakala orang menceritakan otobiografinya kepada orang lain. Kelima, persona sulit dikuantifikasi secara fisik matematis. Dengan ini Ortega menyentuh bidang filsafat ilm pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan kemanusiaan.
Menurut Ortega ilmu modern gagal memahami manusia sebagai persona (pribadi) dan gagal pula memahami hubungan antar pribadi. Ini semua disebabkan adanya kecenderungan fisik matematis.
Penalaran fisik matematis untuk memahami manusia ditolak oleh Ortega. Ia mengusulkan ‘rasiovital’ atau penalaran vital yang juga disebutnya penalaran naratif, seperti bila orang menceritakan otobiografinya untuk memahami manusia sebagai pribadi (persona).
Keenam, persona tidak memiliki eksterioritas tetapi mengungkapkan diri dalam kedirian orang lain secara serta merta.
Ketujuh, persona pun tak bisa didekati dengan teori kemungkinan atau probabilitas karena persona ditandai oleh kebebasan.
Kedelapan, hadirnya sang diri bagi orang lain tidak pernah netral, tetapi selalu efektif, selalu menggugah orang lain itu bukan saja terhadap satu atau beberapa fungsi saja melainkan secara menyeluruh. ***