Bank Indonesia: Pariwisata Industri yang Paling Terluka
JAKARTA, Update – Aktivitas perekonomian yang mulai pulih pascapandemi masih menyisakan bekas luka (scarring effect) jangka menengah panjang yang perlu diantisipasi. Pandemi Covid-19 berimbas pada produktivitas dengan adanya tantangan pada pasar tenaga kerja dan pendidikan, serta pada investasi maupun sektor swasta, terutama pada sektor transportasi dan pariwisata.
Terkait hal itu, sebagaimana dilansir Bank Indonesia Kamis (10/3), Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menekankan pentingnya peran G20 melalui kebijakan yang pro terhadap produktivitas, investasi, penguatan pasar tenaga kerja dan relokasi modal.
Demikian mengemuka pada seminar yang diselenggarakan Bank Indonesia bertajuk“Addressing Scarring Effect to Secure Future Growth” (9/3). Perhelatan ini merupakan salah satu side events seri Maret dari rangkaian G20 yang berlangsung secara virtual pada tanggal 9 Maret 2022.
Pandemi mengakibatkan terjadinya disrupsi pasar tenaga kerja seperti pengangguran seketika akibat pandemi, serta penurunan produktivitas akibat perubahan metode pendidikan sekolah. Lebih lanjut, timbul efek lanjutan masalah pengangguran tersebut seperti kesehatan, masalah sosial hingga stabilitas politik.
Dalam sesi tersebut, dipaparkan solusi penanganan yaitu mengutamakan investasi healthcare dan produksi vaksin sebagai penanganan pandemi, investasi pada infrastruktur digital guna meningkatkan produktivitas kerja dan pendidikan, memaksimalkan kemampuan digital pada pelajar dan pekerja, menggiatkan investasi sektor strategis, serta dukungan pada masa transisi yakni peningkatan keterampilan kaum wanita dan pemuda.
Lebih lanjut, diskusi turut mengulas pariwisata sebagai industri yang paling terluka oleh scarring effect tersebut. Tercatat guncangan koreksi pertumbuhan sektor pariwisata global sebesar 11%, lebih dalam dibanding sektor lainnya sebesar 6,4%. Dalam hal ini, pariwisata perlu menjadi prioritas penanganan mengingat sektor tersebut merupakan pilar ekonomi global yang melibatkan pemuda, wanita serta sektor informal.
Lebih lanjut guncangan dapat berdampak pada masalah fiskal dan risiko kredit. Untuk penanganannya, terdapat sejumlah inovasi seperti promosi pariwisata domestik, eco-tourism, inovasi teknologi, serta mengaitkan pariwisata dengan sektor lainnya seperti agrikultur dan pengembangan produk ekspor. Pemulihan sektor pariwisata juga bergantung pada kebijakan suatu negara terhadap mobilitas wisatawan yang dikaitkan dengan isu kesehatan.
Menjawab tantangan tersebut, sekaligus untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, Gubernur Perry menjelaskan, terdapat prioritas penanganan scarring effects, antara lain relokasi tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran dan mendukung keahlian baru, relokasi modal dan dukungan investasi, serta peningkatan inklusi dan literasi digital melalui pemanfaatan teknologi, serta penanganan dan pencegahan pandemi yang menjadi hal krusial.
Gubernur Perry mengimbau agar korporasi perlu menyusun ulang strategi bisnis, struktur keuangan, manajemen dan ketahanan melalui digitalisasi untuk terus melangkah. Perbankan juga perlu menilik kembali penyaluran kredit ke sektor prioritas dan kredit modal kerja bagi ekspansi bisnis.
Seminar yang terbagi atas tiga bagian ini menekankan pentingnya menangani disrupsi perekenomian akibat pandemi dengan scarring effect sebagai dampak jangka menengah panjang yang mendera berbagai negara dalam aspek tenaga kerja, SDM, dan produktivitas serta bagaimana membangkitkan kembali sektor pariwisata.
Diskusi dibuka oleh Direktur Eksekutif Reinventing Breton Wood Committee (RBWC), Marc Uzan, dan turut menghadirkan antara lain Chief Macro Policy & Financing for Development UN ESCAP, Sweta C. Saxena dan Direktur Departemen Kebijakan Tenaga Kerja ILO PBB, Sangheon Lee, Chief Economist, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Eric Berglof, Director for the Directorate of Education and Skills OECD, Andreas Schleicher, delegasi IMF, Serhan Cevik dan Gonzalo Salinas, serta delegasi Brookings Institution, Gian Maria. /fsp